Konstitusi pada Pembagian Hukum (2)

        Dalam diskusi atau wacana politik kata ‘konstitusi’ biasanya digunakan paling tidak dalam dua pengertian. Pertama, kata ini digunakan untuk menggambarkan seluruh sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan peraturan-peraturan yang mendasari dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Peraturan-peraturan ini sebagian bersifat legal, dalam arti pengadilan hukum mengakui dan menerapkan peraturan-peraturan tersebut, dan sebagian bersifat non-legal atau ekstra-legal, yang berupa kebiasaan, persetujuan, adat atau konvensi, sesuatu yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum tetapi tidak kalah efektifnya dalam mengatur pemerintahan dibandingkan dengan apa yang secara baku disebut hukum.

          Di hampir semua negara di dunia, sistem ketatanegaraan berisi campuran dari peraturan legal dan non-legal ini, sehingga kita bisa menyebut kumpulan peraturan ini sebagai Konstitusi. Bahkan ketika kita berbicara tentang Konstitusi Inggris, ini merupakan makna yang lazim, jika bukan satu-satunya makna yang mungkin, dari kata ini. Konstitusi Inggris adalah kumpulan peraturan legal dan peraturan non- legal yang mengatur ketatanegaraan di Inggris. Peraturan-peraturan hukum itu terwujud dalam undang-undang seperti Act of Settlement yang mengatur perihal suksesi kekuasaan, Undang-Undang Perwakilan Rakyat (Representation of the People Acts) yang sejak 1832 secara bertahap memperkenalkan pengakuan hak pilih universal, Undang-Undang Peradilan (Judicature Acts), dan Undang-Undang Parlemen (Parliament Acts) tahun 1911 dan 1949 yang membatasi kekuasaan Majelis Rakyat (House of Lords). Peraturan-peraturan hukum itu mungkin juga terdapat dalam tata tertib-tata tertib dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh orang yang berwenang menurut undang-undang atau orang yang mempunyai hak prerogatif; dan peraturan-peraturan hukum itu terwujud dalam keputusan-keputusan pengadilan. Peraturan-peraturan yang bersifat non-legal nampat dalam adat atau tradisi seperti ketika Sang Ratu setuju dengan rancangan undang-undang yang disampaikan oleh Majelis Tinggi dan Majelis Rendah atau ketika Perdana Manteri memegang jabatan karena dan sepanjang dirinya memperoleh kepercayaan dari mayoritas dalam Majelis Rendah. Semua peraturan ini merupakan bagian dari Konstitusi Inggris.

          Bagaimanapun juga, di hampir setiap negara di dunia, kecuali Inggris, kata ‘konstitusi’ digunakan dalam pengertian yang lebih sempit daripada pengertian diatas. Kata ini digunakan untuk menggambarkan bukan seluruh kumpulan peraturan, baik legal maupun non-legal, tetapi hasil seleksi dari peraturan-peraturan yang biasanya terwujud dalam satu dokumen atau dalam beberapa dokumen yang terkait secara erat. Terlebih lagi, hasil seleksi ini hampir selalu merupakan seleksi dari peraturan-peraturan hukum semata. Maka, Konstitusi, bagi sebagian besar negara-negara di dunia, merupakan hasil seleksi dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur  pemerintahan negara tersebut dan telah diwujudkan dalam sebuah dokumen.

          Barangkali contoh paling terkenal berkenaan dengan Konstitusi dalam pengertian ini adalah Konstitusi Amerika Serikat. Tetapi kita tidak perlu keluar dari Persemakmuran Inggris untuk mendapatkan contoh tentang jenis yang sama. Meski Inggris juga tidak mempunyai Konstitusi dalam pengertian ini, semua anggota Persemakmuran yang lain, demikian juga setiap koloni, mempunyainya. Secara keseluruhan ada sekitar 70 Konstitusi yang berdiri sendiri dalam Persemakmuran dan kebanyakan Konstitusi itu disusun di Inggris. Jika dicetak semua, Konstitusi ini akan menjadi beberapa jilid, dan jika ditambah Konstitusi dari semua negara di dunia, akan menjadi ribuan halaman.

          Pengertian ‘konstitusi’ yang lebih sempit ini jelas merupakan pengertian yang paling umum, dan pengertian inilah yang akan digunakan dalam buku ini. Tetapi perlu diingat, bahwa ada keterkaitan antara dua penggunaan kata ini yang dapat dijelaskan melalui sejarahnya. Makna ‘konstitusi’ yang lebih luas merupakan makna yang lebih tua. Makna itulah yang dimaksud Bolingbroke ketika ia menulis dalam esainya On Parties. ‘Yang kita maksud dengan konstitusi, jika kita ingin berbicara secara tepat dan pasti, adalah kumpulan hukum, institusi, dan adat kebiasaan, yang ditarik dari prinsip-prinsip ratio tertentu ….yang membentuk sistem umum, dengan mana   masyarakat   setuju untuk diperintah’. Tetapi  sejak dahulu, orang   menganggap   adalah   tepat   atau    perlu menuliskan   prinsip-prinsip  fundamental     yang  akan   menjadi   dasar   dan   pedoman bagi   pemerintahan mereka   yang akan datang  dalam sebuah   dokumen.   Undang-Undang   Kesatuan    Propinsi    Serikat    Belanda (Act  of  Union  The  United  Provinces of  the  Nederland)  tahun  1579  merupakan  contoh   yang   baik   dalam   sejarah   Eropa modern.  Tetapi,  hasil  seleksi atau  kumpulan  dari  prinsip-prinsip fundamental seperti ini biasanya baru disebut ‘Konstitusi’ ketika  terjadi   Revolusi   Amerika dan Revolusi Perancis.

Pada tahun 1787 bangsa Amerika menyatakan: ‘Kita, bangsa Amerika … menobatkan dan menegakkan Konstitusi ini bagi Amerika Serikat’. Sejak saat itu, praktik  mempunyai dokumen tertulis yang berisi prinsip-prinsip organisasi kepemerintahan menjadi praktik yang sangat mapan dan ‘Konstitusi” pun mempunyai makna ini.

          Namun perlu ditekankan, bahwa meskipun dalam buku ini Konstitusi akan digunakan dalam pengertiannya yang lebih sempit, hal ini tidak berarti bahwa kita akan membatasi diri hanya pada kajian tentang hasil seleksi dari peraturan-peraturan hukum untuk mengatur pemerintahan yang ditemukan dalam konstitusi negara. Hasil seleksi ini tidak berjalan sendiri. Hasil seleksi ini merupakan bagian dari keseluruhan sistem ketatanegaraan atau struktur konstitusional dari suatu negara, dari seluruh kumpulan peraturan-peraturan, baik bersifat legal maupun non-legal. Hasil seleksi itu terutama untuk diperkaya dan dilengkapi dengan peraturan-peraturan legal yang diundangkan oleh legislatif, peraturan-peraturan yang di beberapa negara hampir sama pentingnya dengan peraturan-peraturan yang terwujud dalam Konstitusi itu sendiri. Dengan demikian, sementara Konstitusi membentuk institusi-institusi utama pemerintah, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif, seringkali penentuan komposisi dan cara pengangkatan lembaga-lembaga ini diserahkan pada hukum biasa (ordinary law). Di banyak negara, cabang-cabang penting hukum konstitusional seperti pengaturan sistem pemilu, pembagian kekuasaan, pembentukan departemen pemerintahan, organisasi pengadilan tidak diwujudkan dalam Konstitusi itu sendiri, atau, jika diwujudkan, hanya diperlakukan dalam prinsip umum; cabang-cabang hukum konstitusional ini diatur oleh hukum biasa. Di beberapa negara, terutama di Daratan Eropa dan di Amerika Serikat, hukum-hukum ini digambarkan sebagai Hukum Organik (Organic Laws / lois organiques), yakni hukum yang mengorganisasi institusi-institusi, mengatur perilaku pejabat publik melalui organ-organ yang telah diterapkan Konstitusi. Di sana muncul pembagian secara kasar menyangkut fungsi antara Konstitusi yang menjadi dasar institusi-institusi dan menetapkan prinsip-prinsip umum yang mengatur institusi-institusi tersebut dan Hukum Organik  yang mengatur  susunan  dan  kerja  mereka  secara  rinci. Tetapi apakah  disebut  Hukum  Organik  atau  tidak, di beberapa negara terdapat  seperangkat peraturan   hukum  yang  sangat  penting  yang  dibuat  oleh  legislatif  sebagai  tambahan  dan  mungkin   modifikasi   atau   penyesuaian  dari   peraturan-peraturan  yang   diwujudkan   dalam

konstitusi. Tidak ada konstitusi yang dapat dipahami dengan tepat kecuali diletakkan dalam kaitannya dengan Hukum Organik.

          Legislatif bukanlah satu-satunya sumber dari peraturan hukum. Konstitusi dilengkapi dan dimodifikasi oleh peraturan-peraturan hukum yang muncul dari penafsiran Mahkamah. Dan, di luar bidang peraturan-peraturan hukum, Konstitusi- Konstitusi itu boleh jadi ditambahi, dimodifikasi atau bahkan dihapuskan oleh kebiasaan, adat, dan tradisi. Masalah ini akan dibahas secara lebih detail dalam bab 7 dan 8. Disini cukuplah dikatakan bahwa jika kita hendak memahami makna Konstitusi negara, atau memaparkan jalannya Konstitusi, atau menilai kegunaannya, kita mesti memaparkannya dalam konteks yang lebih luas pada keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan konstitusional, dimana Konstitusi itu hanya merupakan bagian, meskipun seringkali merupakan bagian yang sangat penting.

          Kiranya perlu menambahkan apa yang barangkali sudah jelas, yakni apa yang dikatakan Konstitusi itu merupakan satu hak, dan apa yang sesungguhnya terjadi dalam kenyataan adalah hal yang lain. Dalam mengkaji bentuk dan nilai Konstitusi kita mesti menjelaskan perbedaan yang mungkin ini. Selain itu, kita mesti bersedia mengakui bahwa meskipun hampir semua negara di dunia mempunyai Konstitusi, di beberapa negara Konstitusi diabaikan dan bahkan dilecehkan. Malahan dapat dikatakan bahwa pada pertengahan abad ke-20 mayoritas penduduk dunia hidup di bawah sistem pemerintahan dimana pemerintahan itu sendiri, khususnya pemerintahan eksekutif, mempunyai kedudukan lebih penting dan lebih dihormati dan lebih ditakuti dibandingkan dengan Konstitusi. Hanya di negara-negara Eropa Barat, di negara-negara Persemakmuran Inggris, di Amerika Serikat dan di beberapa negara Amerika Latin pemerintahan dijalankan dengan memperhatikan batasan-batasan yang ditentukan oleh Konstitusi; hanya di negara-negara inilah ‘pemerintahan konstitusional’ sejati dapat dikatakan eksis. Karena alasan inilah maka tak dapat dipungkiri bahwa dalam mendiskusikan jalannya Konstitusi dalam buku ini, perhatian kita akan terfokus pada negara-negara ini. Selain itu, karena hanya negara-negara inilah yang menyediakan materi bagi pengkajian terhadap Konstitusi.  Bukan  berarti  bahwa  Konstitusi-Konstitusi  negara  lain  sama  sekali  tidak menarik.  Sebaliknya,  Konstitusi  membentuk  institusi-institusi  dan  teori-teori  yang  paling tidak  menarik  secara  akademik,   sementara  kenyataan-kenyataan  bahwa  institusi-institusi dan   teori-teori   itu   tidak   diterapkan   dalam   tindakan   merupakan   materi   tersendiri  yang apabila dijelaskan akan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi pengkaji tentang Konstitusi.

          Karena Konstitusi suatu negara hanya merupakan bagian dari seluruh sistem pemerintahan negara tersebut, bisakah membuat pembedaan apakah suatu negara mempunyai Konstitusi atau tidak? Jawaban singkat atas pertanyaan ini adalah bahwa kenyataannya di banyak negara ada Konstitusi yang berbeda. Hal ini menunjukkan dengan  jelas sebuah karakteristik Konstitusi. Konstitusi-Konstitusi itu, dalam batas tertentu, biasanya diberi status yang lebih tinggi, sebagai kenyataan hukum, daripada peraturan-peraturan  hukum yang lain dalam sistem ketatanegaraan. Paling tidak, biasanya diterapkan dalam amandemen terhadap Konstitusi hanya dapat dilakukan melalui proses khusus yang berbeda dengan ketika melakukan perubahan terhadap hukum biasa. Kadang-kadang, sebagaimana dalam Konstitusi Amerika Serikat, misalnya amandemen terhadap Konstitusi tidak bisa dilakukan oleh legislatif semata, tetapi memerlukan dukungan dari lembaga-lembaga lain di luar legislatif. Selain itu, di Amerika, jika undang-undang dari Kongres atau undang-undang dari badan legislatif atau undang-undang dari badan apa pun yang mempunyai kewenangan membuat peraturan, bertentangan dengan pasal-pasal Konstitusi, maka undang-undang tersebut tidak syah. Hal yang sama juga berlaku misalnya di Kanada dan Australia, di India dan Irlandia.

          Tetapi, ada beberapa negara dimana Konstitusi dapat diubah oleh legislatif dengan proses yang sama dengan ketika mengubah hukum biasa. Dalam kasus ini Selandia Baru dapat disebut sebagai contoh, yakni sejak berlakunya Undang-undang dasar (Amandemen) Selandia Baru tahun 1947. Adakah perbedaan substansial antara jenis situasi ini dengan keadaan yang ada di Inggris? Sebagai materi hukum semata tidak ada perbedaan substansial. Di Selandia Baru, seleksi atas peraturan-peraturan konstitusional yang lebih penting diwujudkan dalam sebuah dokumen tunggal, yaitu Konstitusi; di Kerajaan Serikat (United Kingdom) tidak ada dokumen tunggal semacam itu: peraturan-peraturan itu tersebar menjadi beberapa dokumen. Tetapi dalam kedua kasus ini, legislatif berada diatas peraturan-peraturan hukum konstitusional. Tidak ada batas-batas hukum diatas kekuasaan amandemennya.

          Beberapa orang berpendapat, adalah keliru mengatakan bahwa negara seperti Selandia Baru, yang  Konstitusinya  dapat  diubah melalui proses legislatif biasa, benar-benar mempunyai Konstitusi.   Dalam    pandangan    mereka,   Konstitusi   mesti    mempunyai   beberapa   tingkat keunggulan diatas legislatif; Konstitusi mesti lebih tinggi daripada hukum biasa. Ketika didapati bahwa semua peraturan hukum yang dimaksudkan untuk mengatur ketatanegaraan secara hukum berada dalam posisi yang sejajar dengan hukum biasa, maka negara tersebut  pada dasarnya tidak mempunyai Konstitusi sama sekali. Hal ini, kata mereka, diakui dengan tegas di Inggris, lebih mudahnya barangkali karena tidak ada satu dokumen pun yang mengklaim sebagai ‘Konstitusi’; harus diakui juga bagi negara lain seperti Selandia Baru, bahkan meskipun dokumen-dokumen tertentu disebut ‘Konstitusi’.

          Tidak perlu menggunakan terminologi yang sedemikian kaku, asalkan diakui bahwa Konstitusi dalam beberapa hal berbeda dalam arti ia lebih tinggi atau paling tinggi menurut hukum daripada institusi-institusi yang telah dibentuk dan diatur oleh Konstitusi. Perbedaan ini penting, tetapi tidak perlu ditekankan pada pendapat yang menolak nama ‘Konstitusi’ untuk sebuah dokumen yang berisi kumpulan peraturan-peraturan penting yang mengatur pemerintahan sebuah negara, meskipun peraturan-peraturan ini tidak mengklaim untuk membatasi kekuasaan legislatif yang, pada dasarnya, telah mereka bangun.

          Dalam diskusi ini, adalah wajar mengajukan pertanyaan: mengapa negara-negara ini mempunyai Konstitusi, mengapa kebanyakan dari negara-negara itu menempatkan Konstitusi lebih tinggi daripada hukum biasa, dan, selanjutnya, mengapa Inggris, dalam pengertian ini, tidak mempunyai Konstitusi sama sekali.

          Jika kita mengkaji asal-usul Konstitusi-Konstitusi modern, kita menjumpai bahwa, Konstitusi-Konstitusi itu, secara praktis tanpa kecuali, disusun dan diadopsi karena rakyat ingin membuat permulaan yang baru, sejauh berkaitan dengan sistem pemerintahan mereka. Keinginan dan kebutuhan  akan sebuah permulaan yang baru juga muncul karena, sebagaimana Amerika, beberapa komunitas yang berdekatan ingin bergabung bersama-sama dibawah sebuah pemerintahan baru; atau karena, sebagaimana Austria, Hongaria atau Cekoslovakia setelah tahun 1918,  komunitas-komunitas  itu  dibebaskan  dari  Kerajaan  sebagai  hasil  dari  perang dan  sekarang  bebas  memerintah  diri  mereka  sendiri; atau  karena  sebagaimana  Perancis pada  1789  dan  Uni Soviet  pada 1917, sebuah  revolusi  menghancurkan  masa  lalu  dan sebuah  bentuk  pemerintahan  baru  yang  berdasarkan  asas-asas  baru  dikehendaki;  atau karena,  sebagaimana  di Jerman  setelah  tahun 1918 atau  di  Perancis  pada  1875  atau  pada 1946,  kekalahan  dalam  perang   telah  menghancurkan  kelangsungan hidup pemerintahan dan diperlukan sebuah permulaan yang baru setelah perang selesai. Keadaan-keadaan dimana keterputusan  hubungan dengan masa lalu dan kebutuhan akan sebuah permulaan yang baru berbeda dari satu negara ke Negara lain, tetapi hampir dalam semua kasus di zaman modern, negara-negara mempunyai Konstitusi karena alasan sederhana, dan mendasar bahwa mereka, karena alasan yang sama, ingin memulai lagi dan dengan demikian mereka menulis garis besar, paling tidak, dari sistem ketatanegaraan yang mereka usulkan. Hal ini jelas dipraktikkan sejak 1787 ketika Konstitusi Amerika dirancang, dan dalam masa-masa selanjutnya tidak diragukan bahwa tiruan dan kekuatan untuk mengambil teladan telah mendorong semua negara menganggap mempunyai Konstitusi adalah perlu.

          Bagaimanapun juga, ini tidak menjelaskan mengapa beberapa negara menganggap perlu memberikan pada Konstitusi posisi lebih tinggi dalam hukum daripada peraturan-peraturan hukum yang lain. Penjelasan singkat berkenaan dengan fenomena ini adalah, bahwa di beberapa negara Konstitusi dianggap sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mengontrol pemerintahan. Konstitusi muncul dari sebuah keyakinan akan pemerintahan yang dibatasi (limited government). Tetapi masing-masing negara berbeda dalam hal batasan-batasan apa yang hendak mereka tetapkan. Kadang-kadang Konstitusi membatasi eksekutif atau lembaga-lembaga lokal dibawahnya; kadang-kadang ia juga membatasi  legislatif, tetapi hanya sejauh berkenaan dengan amandemen terhadap Konstitusi itu sendiri; dan kadang-kadang ia menetapkan batasan-batasan pada legislatif yang melampaui kewenangan ini dan melarangnya membuat hukuman mengenai bidang-bidang tertentu atau menurut cara-cara tertentu atau dengan akibat-akibat tertentu. Tetapi, apa pun singkat dan seberapa pun luasnya, pembatasan-pembatasan itu didasarkan atas keyakinan umum terhadap pemerintahan yang dibatasi dan terhadap penggunaan Konstitusi untuk menetapkan pembatasan ini.

          Sifat pembatasan yang ditetapkan bagi pemerintahan, dan dengan demikian tingkat di mana Konstitusi lebih tinggi dari pemerintah, bergantung pada sasaran-sasaran yang hendak dijaga oleh para pembuat Konstitusi. Pertama-tama  mereka  ingin melakukan  tidak  lebih  dari sekedar  meyakinkan  bahwa  Konstitusi tidak dapat diubah begitu saja atau secara sembarangan atau dengan alasan atau maksud yang tidak jelas; mereka ingin menegaskan bahwa dokumen penting ini tidak boleh diubah-ubah secara sembarangan, tetapi harus dengan sungguh-sungguh, dengan    pembahasan  dan   pertimbangan   yang    matang,  dan   dengan   sadar.  Dalam  kasus itu, diperlukan beberapa proses khusus bagi amandemen konstitusional – bahwa boleh mengamandemen Konstitusi hanya melalui dua pertiga mayoritas atau setelah pemilihan umum atau mungkin  setelah pembahasan selama tiga bulan.

          Para penyusun Konstitusi seringkali mempunyai lebih dari pertimbangan-pertimbangan ini dalam pikirannya. Mareka merasa bahwa jenis hubungan tertentu antara eksekutif dan legislatif adalah penting; atau bahwa yudikatif harus dijamin mempunyai tingkat kemandirian tertentu terhadap legislatif dan eksekutif. Mereka merasa bahwa ada hak-hak yang harus dimiliki warga negara, yang tidak boleh dilanggar atau dihapuskan oleh eksekutif dan legislatif. Mereka merasa bahwa hukum-hukum tertentu tidak boleh dibentuk sama sekali. Para penyusun Konstitusi Amerika, misalnya melarang Kongres untuk mengeluarkan hukum ex post fakto,  yakni hukum yang dibuat setelah berlangsungnya sebuah tindakan atau situasi yang akan diatur oleh hukum – jenis hukum yang dapat mengubah orang yang bersalah melakukan penyerangan melalui tindakan yang, ketika dia melakukannya, tidak bersalah. Para penyusun Konstitusi Irlandia tahun 1937 melarang legislatif untuk mengeluarkan hukum apa pun yang membolehkan perceraian. Mungkin juga diperlukan peraturan lain yang bersifat melindungi ketika komunitas-komunitas yang berbeda dan terpisah-pisah memutuskan untuk bergabung di bawah pemerintahan bersama tetapi khawatir untuk mempertahankan hak-hak tertentu untuk mereka sendiri. Jika komunitas-komunitas  ini berbeda bahasa, ras dan agama, diperlukanlah perlindungan untuk menjamin bagi mereka kebebasan menjalankan karakteristik-karakteristik bangsanya. Orang-orang yang menyusun Konstitusi Swiss, Kanada dan Afrika Selatan, untuk menyebut beberapa nama, harus mempertimbangkan persoalan-persoalan ini. Bahkan ketika komunitas-komunitas ini tidak berbeda bahasa, ras dan agama, mereka mungkin masih enggan untuk bersatu kecuali jika mereka memperoleh jaminan kemerdekaan di dalam kesatuan. Untuk memenuhi tuntutan ini Konstitusi mestinya tidak  hanya membagi kekuasaan antara pemerintahan Kesatuan (Serikat) dan pemerintahan negara bagian yang membentuk kesatuan, tetapi Konstitusi, bagaimanapun juga, harus supreme sejauh Konstitusi ini mengabdi dan melindungi pembagian kekuasaan ini.

          Di beberapa negara, hanya salah satu dari beberapa pertimbangan yang disebutkan di atas yang berlaku, sementara di beberapa negara yang lain, beberapa atau semua pertimbangan tersebut  berlaku.  Demikianlah,  dalam  Konstitusi  Irlandia,  para  penyusun  Konstitusi  sangat menginginkan bahwa amandemen harus menjadi proses yang disengaja, bahwa hak-hak warga negara harus dijaga, dan bahwa jenis-jenis hukum tertentu tidak boleh dikeluarkan sama sekali, dan dengan demikian mereka menjadikan Konstitusi mempunyai kedudukan tertinggi dan menetapkan pembatasan-pembatasan terhadap legislatif dalam meraih tujuan-tujuan ini. Para penyusun Konstitusi Amerika juga memperhatikan masalah ini, tetapi di atas semua itu mereka harus memelihara keinginan dari tiga puluh koloni untuk bersatu demi beberapa tujuan dan untuk mempertahankan kemerdekaan bagi yang lain. Hal ini merupakan alasan tambahan untuk memerikan predikat supreme terhadap Konstitusi dan untuk memperkenalkan perlindungan ekstra terhadap Konstitusi itu.

          Pembahasan lebih jauh mengenai supremasi Konstitusi dan kendala-kendala khusus yang menghalangi jalannya amandemen terhadap Konstitusi-Konstitusi itu disajikan dalam bab selanjutnya. Di sini cukuplah dicatat bahwa, karena beberapa alasan, para penyusun Konstitusi biasanya bermaksud menetapkan pembatasan-pembatasan terhadap pemerintah, meskipun tingkat pembatasan itu beragam dari satu kasus ke kasus lain.

          Maka, ada sedikit Konstitusi yang tidak memuat pembatasan-pembatasan terhadap legislatif karena satu atau lebih alasan-alasan yang disebutkan diatas. Ketika tidak ada pembatasan, maka penjelasan yang bisa dikemukakan adalah bahwa Konstitusi tidak begitu dihormati atau bahwa, sebagaimana di Selandia Baru, ia sangat dihormati dan bahwa tanpa syarat-syarat hukum apa pun yang ditetapkan dalam Konstitusi, ia hanya diubah dengan pertimbangan  masak dan setelah berembug dengan rakyat. (to be continue Konstitusi pada Pembagian Hukum 3)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top