Hukum Islam di dalam Kurikulum Program Ilmu Hukum (2)

Karena Alasan Hukum

Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian di atas, bahwa penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, maka dengan sendirinya berlaku bagi mereka hukum Islam. Hal ini tentunya berbeda dengan dengan agama-agama lain yang di dalam ajaran agama mereka tidak mengatur atau memuat tentang masalah hukum. Bagi penduduk Indonesia yang beragama Islam, hukum Islam yang berlaku baik secara normatif maupun secara yuridis formal.

Hukum Islam Normatif

Penerapan hukum Islam secara normatif dapat dicontohkan seperti pelaksanaan ibadah mahdlah (ibadah wajib), yaitu ibadah shalat, zakat, puasa pada bulan Ramadhan dan ibadah haji. Hampir semua bagian hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan – Allah SWT bersifat normatif. Berlakunya hukum Islam secara normatif adalah bagian dari hukum Islam itu sendiri yang mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila norma-normanya dilanggar. Kuat tidaknya sanksi kemasyarakatan itu banyak tergantung pada kesadaran umat Islam akan norma-norma hukum Islam yang bersifat normatif tersebut. Selanjutnya dipatuhi atau tidaknya hukum Islam yang berlaku secara normatif tergantung pada kuat atau lemahnya keimanan umat Islam itu sendiri.

Secara Yuridis Formal

Maksudnya hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan dengan benda dan alam lingkungannya dalam masyarakat. Bagian hukum Islam ini menjadi ”hukum positif” berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Misalnya tentang hukum perkawinan, kewarisan, perwakafan, hukum zakat, hibah, wasiat dan lain-lain dengan catatan telah dikomplikasikan dan dikodifikasikan.

Untuk menegakkan hukum positif tersebut dibentuk Pengadilan Agama. Keberadaan Peradilan  Agama di Indonesia telah berlangsung sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan dan di daerah-daerah Islam lainnya.

Setelah Belanda menjajah dan menguasai wilayah Indonesia dengan pemerintahannya (Hindia Belanda) Pengadilan Agama secara formal dibentuk untuk daerah Jawa dan Madura pada tahun 1882 dan di sebagian besar residensi Kalimantan Selatan dan Timur pada tahun 1937, kemudian setelah lepas dari penjajahan/ pemerintahan Hindia Belanda (merdeka) pembentukan Peradilan Agama di luar kedua wilayah tersebut diatur dengan peraturan perundang-undangan pada tahun 1957.

Dalam sistem peradilan di Indonesia kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dengan ditetapkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ”Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman”, dalam salah satu pasalnya menyebutkan eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Dan selanjutnya dengan diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang ”Perkawinan”, kedudukan Peradilan Agama semakin kokoh dan bertambah kuat. Karena itu siapa saja yang akan menjadi penegak hukum atau pelaksana hukum dalam masyarakat Islam Indonesia, maka mempelajari hukum Islam merupakan suatu keharusan yang tidak bisa diabaikan.

Karena Alasan Konstitusional

Di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan Negara RI didasarkan kepada ”Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan dasar-dasar lainnya yang kemudian dikenal dengan istilah ”Pancasila”. Sila pertama tersebut dijabarkan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 yang tertuang di dalam Pasal 29.

Menurut Hazairin sebagaimana dikutip Mo. Daud Ali, norma dasar yang tersebut dalam Pasal 29 itu tafsirannya antara lain adalah :

Dalam Negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani/Kristen, Hindu dan Budha. Ini berarti bahwa di dalam Negara RI tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-norma agama dan norma kesusilaan bangsa Indonesia.

Negara RI wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam dan demikian pula bagi agama-agama lainnya (selain Islam), yakni agama-agama yang secara resmi diakui keberadaannya oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Makna yang terkandung di dalam tafsiran tersebut adalah bahwa Pemerintah RI berkewajiban menyediakan fasilitas sehingga hukum yang berasal dari agama yang dipeluk bangsa Indonesia dapat terlaksana dengan biak, sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara.

Syari’at Islam tidak hanya mengandung hukum-hukum kaidah mahdlah, seperti hukum shalat, zakat, puasa, dan haji, tetapi juga memuat hukum dunia baik perdata maupun publik yang memerlukan ”kekuasaan negara” untuk menjalankan secara sempurna, yang dimaksud adalah hukum harta kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, hukum perkawinan/ perceraian, kewarisan dan lain sebagainnya.

Hal-hal seperti tersebut diatas di dalam penegakkannya memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus, yakni Peradilan Agama. Di samping itu syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan untuk melaksanakannya karena dapat diljalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi itu sendiri menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing.

Alasan Ilmiah

1 komentar untuk “Hukum Islam di dalam Kurikulum Program Ilmu Hukum (2)”

  1. Pingback: Hukum Islam di dalam Kurikulum Program Ilmu Hukum (1) – Kuliah Hukum Online

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top