Hukum Perlindungan Konsumen

Pengertian Mengenai Konsumen

Terdapat berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara satu pendapat dengan pendapat lainnya.

Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu consumer, secara harfiah dalam kamus Bahasa indonesia diartikan sebagai “seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”; atau “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”. ada juga yang mengartikan ” setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.

Konsumen menurut kamus Hukum adalah pihak yang memakai atau menggunakan barang dan jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.

Dari pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahan atau badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).

Banyak negara secara tegas menetapkan siapa yang disebut sebagai konsumen dalam perundang-undangannya, konsumen dibatasi sebagai “setiap orang yang membeli barang yang disepakati, baik menyangkut harga dan cara-cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial (Consumer protection Act No. 68 of 1986 Pasal 7 huruf C).

Perancis mendefinisikan konsumen sebagai; “A privat person using goods and services for privat ends”. Sementara Spanyol menganut definisi konsumen sebagai berikut: “Any individual or company who is the ultimatebuyer or user of personal or real property, products, services, or activities, regardless of wheter the seller, supplier or producer is a public or private entity, acting alone or collectively”. 

Selain itu dalam rancangan akademik Undang-undang tentang Konsumen oleh Tim Peneliti UI dalam Ketentuan Umum Pasal 1. Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan”.

Tim Peneliti UI tidak membatasi konsumen dalam hubungan dengan didapatkannya barang yaitu dalam hal ini tidak perlu ada hubungan jual beli. Misalnya seorang kepala keluarga yang membeli barang untuk dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, maka anggota keluarga yang memakai walau tidak membeli langsung juga merupakan kategori konsumen.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku satu bulan sejak pengundangannya, yaitu 20 April 1999. Pasal 1 butir 2 mendefinisikan konsumen sebagai  “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingaan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Definisi ini sesuai dengan pengertian bahhwa konsumen adalah end user / pengguna terakhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari baranng dan/atau jasa tersebut.

Hukum konsumen belum dikenal sebagaimana kita mengenal cabang hukum pidana, hukum perdata, hukum adaministrasi, hukum internasional, hukum adat dan berbagai cabang hukum lainnya.

Dalam hal ini juga belum ada kesepakatan hukum konsumen terletak dalam cabang hukum yang mana. Hal ini dikarenakan kajian masalah hukum konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan hukum antara lain perdata, pidana, administrasi, dan konvensi internasional.

Prof. Mochtar Kusumaatmadja, memberikan batasan hukum konsumen yaitu: “Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan dan masalah anatara berbagai pihak berkaitan dengan dengan barang dan atau jasa konsumen satu sama lain, di dalam pergaulan hidup”.

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen dan menemukan kaidah hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya istilah konsumen dalam peraturan perundan-undangangan tersebut walaupun ditemukan sebagian dari subyek-subyek hukum yang memenuhi kriteria konsumen.

Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 terdapat berbagi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Peraturan Perundang-undangan ini memang tidak secara langsung mengenai perlindungan konsumen, namun secara tidak langsung dimaksudkan juga untuk melindungi konsumen.

Perundang-undangan Secara Tidak Langsung Mengenai Perlindungan Konsumen

Peraturan yang dimaksud antara lain: Keputusan Menteri Perindustrian No. 727/ M/ SK/ 12/ 1981 tentang Wajib Pemberian Tanda (Label) Pada Kain Batik Tulis, Kain Batik Kombinasi (Tulis dan Cap), dan Tekstil yang Dicetak (printed) dengan Motif (Disain) Batik.

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia, selanjutnya disingkat dengan LN RI, No. 23 tahun 1973) tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida.

Keputusan Menteri Perindustrian No. 27/ M/ SK / 1/ 1984 tentang Syarat-syarat dan ijin Pengolahan Kembali Pelumas Bekas dan Pencabutan semua Ijin Usaha Industri Pengolahan Kembali Pelumas Bekas.

Peraturan Pemerintah No. 2/ 1985 (LN RI No. 4 tahun 1985 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3283.) tentang Wajib dan Pembebanan Untuk Ditera dan atau Ditera Ulang Serta Syarat-syarat Bagi Alat-alat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya.

Undang-Undang tentang Pokok Kesehatan No. 9/ 1960 (LN RI No. 131 tahun 1960 dan TLN RI No. 2068).

Peraturan Menteri Kesehatan No. 79/ 1978 tentang Label dan Perikllanan.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 79/ 1978 tentang Produksi Dan Peredaran Makanan yang melarang periklanan yang menyesatkan, mengacaukan, atau menimbulkan penafsiran salah atas produk yang diklankan.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 maka Undang-Undang tersebut merupakan ketentuan positif yang khusus mengatur perlindungan konsumen.

Hak-hak Konsumen

Jika kita membicarakan tentang perlindungan konsumen hal itu tidak lain adalah juga membicarakan hak-hak konsumen. Presiden Merika Serikat J. F. Kennedy dalam pesannya kepada Congress pada tanggal 15 Maret 1962 dengan judul A Special Message of Protection the Consumer Interest, menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut:

  1. The right to safety
  2. The right to choose
  3. The right to be informed
  4. The right to be heard

Di Indonesia Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merumuskan hak-hak konsumen sebagai berikut:

  1. Hak keamanan dan keselamatan
  2. Hak mendapatkan informasi yang jelas
  3. Hak memilih
  4. Hak untuk didengar pendapatnya dan keluhannya
  5. Hak atas lingkungan hidup.

Mengenai hak konsumen, maka tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi :

Hak Konsumen adalah :

  1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
  2. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. Hak untuk didengar pendapat dn keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
  5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen yang  patut;
  6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
  8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

Perundang-undangan lainnya.

Menurut C Tantri D dan Sularsi dalam bukunya yang berjudul Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen bahwa  :

“Hak-hak yang tercantum dalam pasal di atas merupakan bagian bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia  yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (Internasional Organisasi of Consumers Union-IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen yaitu hak untuk memperoleh kebutuhan hiudp, hak untuk memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen dan hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.”

Sedangkan mengenai kewajiban pembeli disamakan dengan kewajiban konsumen yaitu yang tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang berbunyi :

Kewajiban konsumen adalah :
1. membaca atau mengikuti petunjuk inforamsi dan prosedur
    pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi
    keamanan dan keselamatan;
2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
    barang dan/atau jasa;
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
    perlindungan konsumen secara patut.

Menurut Ahmadi Miru dan Suharman bahwa :

“Adanya kewajiban pembeli sebagai konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya.”

Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang. Hal ini tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.

Berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh produsen. Kemudian mengenai hak dan kewajiban penjual maka dalam Hukum Perlindungan Konsumen masuk pada hak dan kewajiban pelaku usaha.

Dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa :
Kewajiban pelaku usaha adalah :

  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
  6. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

2 komentar untuk “Hukum Perlindungan Konsumen”

  1. Salam sejahtera,
    Terima kasih Dr.Riana atas materi yang sangat bermanfaat.
    Bila boleh mengajukan pertanyaan, mohon pencerahannya atas pertanyaan di bawah ini, yaitu:
    Apakah pengusaha/pedagang yang telah menerima fasilitas kredit/pembiayaan (debitur) dari bank/lembaga keuangan lainnya (kreditur) guna pengembangan usahanya dapat dikategorikan sebagai konsumen (-nya bank) sbgmn yg diatur dalam Pasal 1 butir 2 UU No.8/1999 ttg Perlindungan Konsumen? Memperhatikan unsur akhir dari definisi tsb “…dan tidak untuk diperdagangkan.”
    Mohon pencerahannya, sekali lagi terima kasih atas materi dan boleh berbagi-nya.
    Salam hormat,
    Eden Siahaan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top