Masalah Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam Dan Hubungannya Dengan Kewenangan Peradilan (1)

Pengakuan anak dalam literature hukum Isllam disebut dengan “istilhagí” atau “iqrar”  yang berarti pengakuan seseorang laki-laki secara sukarela terhadap seseorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut berstatus diluar nikah atau anak tersebut tidak diketahui asal usulnya. Pengakuan anaka diluar kawin mirip dengan pengakuan anak sebagaimana yang diatur dalam BW yang sering disebut dengan anak wajar (natuurlijekkinderen).

Menurut Taufiq, anak wajar adalah anak yang dilahirkan diluar nikah perkawinan. Dalam perkembangan  selanjutnya perngertian anak wajar dipakai untuk dua pengertian, yaitu dalam arti luar mencakup semua anak luar kawin yang disahkan, dalam arti sempit hanya mencakup anak yang lahir akibat overspel dan incest. Menurut hukum perdata anak wajar ini mempunyai hubungan keperdataan dengan orang tuanya hanya dengan cara pengakuan secara sukarela atau dengan paksa sebagaimana tersebut Pasal 280 KUH Perdata. Jika tidak ada pengakuan dari ibunya yang melahirkan atau bapak yang menghamili ibunya, maka anak wajar tersebut tidak mempunyai hubungankeperdataan baik dengan ibu atau bapak yang menghamili ibunya itu.

Dalam hukum Islam, asal usul seorang anak (nasab) dapat diketahui dari salah satu diantara tiga sebab, yaitu (1) dengan cara al-Firasy, yaitu berdasarkan kelahiran karena adanya perkawinan yang sah; (2) dengan cara iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya; (3) dengan cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan bukti-bukti  yang sah seorang anak betul anak si polan. Dalam hal yang terakhir ini termasuk juga anak yang lahir dari wathi’ syubhat dan anak yang lahir dari nikah  fasid. Dengan hal ini dapat diketahui bahwa dalam hukum Islam anak dibagi kepada dua bagian, yaitu anak yang diketahui hubungan darah dengan bapaknya dengan sendirinya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya yang melahirkannya dan bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya, jika itu mengakuinya.

Menurut Abdul Ali Husien ada perbedaan yang prinsip tentang motifasi pengakuan anak menurut hukum perdata Barat dengan motivasi pengakuan anak menurut hukum Islam. Dalam hukum perdata Barat pengkuan anak dapat dilakukan oleh seseorang yang merupakan kebutuhan bagi pasangan yang hidup bersama tanpa nikah. Sedangkan motivasi pengakuan anak menurut hukum Islam adalah (1) demi kemaslahatan anak yang diakui; (2)rasa tanggung jawab social atau takliefijtima’I; (3) menyembunyikan aib karena anak tersebut terlahir diluar kawin orang tuanya; dan (4) antisipasi terhadap datangnya mudharat yang lebih besar di masa yang akan datang apabila anak tersebut tidak diakuinya. Hukum Islam hanya memberi akibat hukum kepada anak dengan orang tua berdasarkan pernikahan, tetapi untuk menutupi aibnya syari’at Islam menganjurkan agar orang mengakui anak yang tidak jelas ayahnya.

Ada tiga macam status yang diatur dalam hukum perdata yaitu (1) anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah sebagaimana tersebut dalam Pasal 250 BW; (2) anak yang diakui, yaitu pengakuan anak terhadap anak luar kawin, pengkuan ini dapat dilakukan oleh ayah atau ibunya dengan maksud antara anak dengan kedua orang tuanya ada hubungan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 280 BW; (3) anak yang disahkan, yaitu anak luar kawin antara seoarang wanita dan pria yang mengakui anak yang lahir sebelum menikah itu sebagai anak mereka yang sah, pengakuan tersebut dilaksanakan dengan mencatatnya dalam akta perkawinan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top