Mengapa Inggris tidak mempunyai Konstitusi? Pertanyaan ini lebih mudah diajukan daripada dijawab, dan lebih mudah untuk menjawab dengan panjang lebar – daripada secara singkat. Tetapi dalam bab ini kita kan memberikan jawaban pendek. Pertimbangkan alasan mengapa negara mempunyai konstitusi – kehendak untuk membuat permulaan yang baru. Apakah Inggris mempunyai pengalaman ini? Kadang-kadang orang berbicara seolah-olah Inggris tidak mempunyainya. Mereka berbicara tentang sebuah garis perkembangan yang tak terputus dari waktu paling awal, yang dengannya institusi-institusi yang belum sempurna disesuaikan dan ditambahkan, dan akhirnya diperluas dan didemokratisasikan, hingga monarki absolut datang untuk diwujudkan dalam demokrasi parlementer. Tetapi terdapat keterputusan dalam sejarah Inggris dan ketika keterputusan itu terjadi, dilakukanlah upaya untuk membuat permulaan yang baru dan untuk mempertahankan asas-asas ketatanegaraan baru dalam Konstitusi. Keterputusan sejarah itu terjadi bersamaan dengan Perang Sipil pada 1642 dan eksekusi Charles I pada 1649. Di masa-masa Persemakmuran dan Protektorat, 1649-1660, dilakukan berbagai upaya untuk menyusun sebuah Konstitusi bagi Kepulauan Britania – bukan hanya bagi Inggris, karena Cromwell telah menyatukan Inggris, Skotlandia dan Irlandia ke dalam satu pemerintahan. Hasil terbaik dari berbagai upaya terhadap Konstitusi ini adalah Instrumen Pemerintahan (Instrument of Government) tahun 1653. Instrumen itu menunjukkan semua tanda sebuah Konstitusi sebagaimana yang kita pahami saat ini. Jika Persemakmuran terus berlangsung, tidak diragukan lagi bahwa masih ada Konstitusi Britania, yang mengusung prinsip-prinsip fundamental ketatanegaraan sebagaimana yang telah muncul dari konflik-konflik Perang Sipil. Bangsa Inggris saat itu telah siap bagi permulaan yang baru, mereka ingin membatasi pemerintahan, dan mereka telah mempunyai pandangan-pandangan tertentu menyangkut hubungan yang tepat antara legislatif dan eksekutif dan tentang hak-hak asasi manusia. Mareka memasukkan ini semua ke dalam berbagai upaya mereka pada Konstitusi.
Bagaimanapun juga, hasilnya mereka tidak menyetujui dan mereka tidak memperoleh cukup dukungan bagi setiap Konstitusi mereka. Maka Charles II kembali ke singgasana dan di sana terjadi Restorasi – sebuah kata penting, karena kata ini menjelaskan mengapa pada tahun 1660 tidak ada Konstitusi yang disusun. Kembalinya Charles II tampak seperti sebuah permulaan baru, tetapi sebenarnya tidak. Hal itu berarti kembalinya sebuah bentuk pemerintahan lama, pembangunan kembali sistem lama, Oleh karena itu, mereka yang berbicara tentang ketidakterputusan garis perkembangan dalam sejarah pemerintahan Inggris mempunyai banyak sekali sisi kebenaran. Ada Keterputusan dan upaya untuk membuat sebuah permulaan baru dengan Konstitusi, tetapi gagal, dan tatanan lama ditetapkan kembali.
Tetapi, mungkin ditanyakan, apakah Revolusi tahun 1688 dan Pernyataan Hak-hak Manusia (Bill of Right) itu? Apakah itu bukan merupakan pemutusan dan permulaan baru? Apakah Pernyataan Hak-hak Manusia bukan sebuah Konstitusi? Di sini, lagi-lagi, kelihatannya Inggris telah mempunyai Konstitusi tetapi sebenarnya tidak. Pernyataan Hak-hak Manusia jelas berkaitan dengan persoalan konstitusional. Ia berkaitan terutama dengan pembatasan kekuasaan Raja dan perlindungan pada hak-hak tertentu rakyat. Ia menyerupai Konstitusi sebagaimana yang bisa kita temukan di Inggris. Tetapi ia hanya mencakup sebagian kecil persoalan. Yang lebih penting, ia tidak berusaha membatasi kekuasaan parlemen. Maka akibat Revolusi tahun 1688 adalah perkembangan supremasi dan kedaulatan parlemen, sebagai persoalan hukum, dalam sistem pemerintahan Inggris.
Sebuah konsekuensi menarik dan penting muncul dari sini. Karena parlemen menjadi badan pembuat hukum yang berdaulat, tidak ada Konstitusi yang dibentuk untuk membatasi kekuasaan parlemen. Jika sejumlah batasan ingin diterapkan pada pelaksanaan kekuasaan yang tidak dibatasi secara hukum ini, batasan-batasan ini harus dicapai dengan sarana-sarana non-legal, dengan opini publik, dengan pemilihan, dengan pengembangan kebiasaan dan tradisi. Sedemikian rupa sehingga, sementara di beberapa negara pada abad ke 18 dan 19 orang-orang bekerja menyusun Konstitusi yang akan membatasi kekuasaan legislatif, di Inggris parlemen menjadi supreme, dan ia dikontrol oleh sarana-sarana politik dan bukan oleh hukum Konstitusi. Bangsa Inggris, dibanding dengan bangsa-bangsa lain, bukannya kurang peduli dengan pernyataan tentang hak-hak manusia atau dengan pembatasan aktifitas pemerintahan, tetapi sifat dari konflik konstitusional mereka telah mengakibatkan kemenangan parleman atas Raja mereka; kemenangan itu telak dan parlemen berdiri sebagai badan berdaulat sampai-sampai tidak ada Konstitusi yang bisa mempunyai kedudukan lebih tinggi darinya.
Kita melihat bahwa alasan lain mengapa negara-negara memerlukan Konstitusi adalah bahwa ketika negara-negara itu bersatu dengan negara yang lain, mereka ingin mempertahankan kekuasaan tertentu untuk mereka sendiri atau untuk melindungi pasal-pasal tertentu dalam undang-undang serikat (kesatuan). Sekarang Inggris bersatu dengan Skotlandia pada 1707 dan dengan Irlandia pada 1801, dan wajar mengajukan pertanyaan mengapa kesatuan ini tidak menghasilkan Konstitusi. Alasan pertama adalah bahwa kesatuan itu bukan kesatuan federal; di masing-masing negara mereka melakukan penghapusan parlemen lokal dan penyatuan penuh legislatif Skotlandia dan Irlandia dengan Inggris di bawah satu parlemen – parlemen yang diakui mempunyai kedaulatan. Dengan demikian, tidak ada kekuasaan legislatif yang harus dicadangkan bagi parlemen Skolandia atau Irlandia, yang membutuhkan perlindungan dalam Konstitusi. Dalam waktu yang sama, perlu dicatat bahwa ada jaminan-jaminan tertentu yang diberikan pada saat penyatuan yang dianggap sebagai bagian dari persetujuan. Maka, dalam undang-Undang Persatuan (Acts of Union) dengan Skotlandia dan dengan Irlandia jaminan keagamaan tertentu dibacakan dan ditetapkan bahwa jaminan-jaminan itu tetap tidak berubah selamanya. Tetapi Undang-Undang itu telah dicabut atau diamandemen. Karena kedaulatan parlemen melarangnya untuk mengikat dirinya. Sekali kedaulatan itu ditegakkan, tidak ada Konstitusi yang mengikat yang dapat ditetapkan pada saat penyatuan dengan Skotlandia dan Irlandia yang tidak akan menimbulkan konflik dengan asas utama itu. Tidak diragukan, jika parelemen Inggris bersedia untuk dikontrol oleh Konstitusi pada saat penyatuan, hal itu dapat dilakukan. Tetapi kenyataannya doktrin utama sistem pemerintahan pada saat itu adalah kedaulatan parlemen.
Karena itu, terlihat bahwa berbagai jenis pengaruh yang mendorong negara-negara lain untuk mengadopsi Konstitusi juga tidak berlaku bagi Inggris, atau berjalan sangat lambat atau dilawan oleh pengaruh-pengaruh penentang yang lebih kuat. Inggris membuat paling tidak satu permulaan baru setelah pecahnya revolusi dan berusaha hidup di bawah Konstitusi, tetapi Restorasi mengakhiri semua itu. Setelah tahun 1688 perkembangan doktrin parlemen yang berdaulat menyingkirkan segala kemungkinan akan Konstitusi yang dapat mengontrol legislatif. Kesatuan dengan Skotlandia dan Irlandia dibuat dalam kerangka parlemen yang berdaulat ini dan mencakup penghapusan parlemen mereka sendiri. Maka, pada setiap tahap ketika Britania boleh jadi sudah mempunyai Konstitusi, langkah itu dicegah.
Ini tidak berarti bahwa Britania tidak pernah bisa mempunyai sebuah Konstitusi. Mungkin saja bahwa opini publik dengan kuat menuntut bahwa kekuasaan parlemen dibatasi secara hukum oleh Konstitusi sebagaimana yang terjadi di parlemen Irlandia, dan opini ini mungkin terus hidup. Jika sebuah sistem federal dibangun di Britania, supremasi Konstitusi mungkin dapat dibentuk. Sejauh ini yang dapat dikatakan adalah bahwa ini belum terjadi dan jika ingin dilakukan maka hukum sistem ketatanegaraan Britania harus diubah – doktrin tentang kedaulatan parlemen sudah harus dihapuskan. Bagaimanapun juga, Britania dapat mempunyai sebuah Konstitusi tanpa harus melakukan sampai sejauh ini. Tidak ada alasan mengapa peraturan-peraturan hukum yang prinsipil yang mengatur pemerintahan tidak dikumpulkan ke dalam satu undang-undang gabungan dan diundangkan oleh parlemen. Konstitusi ini tidak mempunyai status superior terhadap undang-undang parlemen yang lain; undang-undang itu tidak mengikat parlemen, tetapi undang-undang itu tentu saja mengikat setiap institusi lain dan warga di negara itu. Undang-undang itu tidak mepunyai status yang sama dalam hukum negara sebagaimana yang dimiliki Konstitusi Selandia Baru di negara itu.
Undang-undang itu akan menjadi sebuah dokumen yang menarik atau mungkin membuka pikiran; undang-undang itu terutama memuat beberapa pernyataan paling penting dalam sejarah konstitusional. Tetapi kebanyakan bangsa Inggris akan menganggap kompilasi dan undang-undangnya sebagai, jika bukan pemborosan waktu, akrobat akademik – yang mereka rasakan hampir sama. Bagaimanapun juga, sebagaimana yang dikatakan Tuan Podsnap kepada orang-orang Prancis dalam Our mutual Friend:
Kita bangsa Inggris sangat bangga dengan Konstitusi kita, tuan. Konstitusi itu dianugerahkan Tuhan kepada kita.
Tidak ada negara lain yang dikasihi sebagaimana negeri ini …
‘Dan negara-negara lain,’ kata lelaki asing. ‘Mereka melakukan apa?’
‘Mereka melakukan, tuan,’ balas Tuan Podsnap, sambil mengeleng-gelengkan kepalanya; ‘mereka melakukan – saya minta maaf terpaksa mengatakan itu – karena mereka melakukan.’
‘Konstitusi itu merupakan anugerah khusus dari Tuhan,’ kata lelaki asing, sambil tertawa, ‘karena garis batas itu tidak luas.’
‘Pasti,’ jawab Mr. Podsnap; ‘Tetapi demikianlah. Konstitusi itu merupakan Piagam Negara. Pulau ini diberkahi, tuan, dengan sesuatu yang tidak diberikan secara langsung kepada negara-negara lain – karena memang sudah semestinya ini terjadi. Dan jika kita semua orang Inggris hadir, saya akan mengatakan …. bahwa pada orang Inggris ada perpaduan kualitas, kesederhanaan, kemandirian, tanggung jawab, ketenangan, berpadu dengan tiadanya segala sesuatu yang akan menyebabkan kebakaran jenggot anak muda, sesuatu yang tidak akan ditemukan di antara Bangsa-bangsa di Bumi.”
Bangsa semacam itu, akan segera diakui, tidak membutuhkan Konstitusi. Tetapi, sebagaimana ditunjukkan Tuan Podsnap, negara-negara lain melakukan sebagaimana yang mereka lakukan, dan karena demikian, maka sekarang kita perlu beranjak dan melihat bagaimana mereka melakukannya.